Oleh: MB Hendrie Anto, SE., M.Sc*
Muqaddimah
Barangkali tidaklah cukup himpunan kata-kata untuk menggambarkan kebesaran dan kehebatan Nabi terakhir Muhammad
e, atau sebaliknya tidak diperlukan ungkapan pujian terhadap beliau
karena beliau benar-benar sang terpuji. Terlampau banyak pujian terhadap
beliau, tetapi kejujuran Michael H Hart dalam menempatkan Muhammad e sebagai orang paling besar sepanjang sejarah manusia dapat merangkum segalanya. “My
choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influential
persons may surprise some readers and may be questioned by others, but
he was the only man in history who was supremely successful on both the
religious and secular levels”[1]
Muhammad
e adalah pemimpin dalam segala aspek kehidupan manusia. Salah satu
bidang yang saat ini sedang mendapat banyak kajian adalah peranan beliau
dalam ekonomi dan bisnis. Perhatian masyarakat terhadap konsep dan
praktek ekonomi Islam saat ini, di dunia muslim maupun non muslim, pasti
akan membawa pada perhatian terhadap beliau. Jika ekonomi Islam adalah
superior maka superioritas ini tentu dinisbatkan kepada beliau.
Rasûlullâh adalah seorang ekonom besar, ekonom sejati. Beliau telah
melakukan reformasi pandangan-pandangan yang salah terhadap ekonomi
secara fundamental dan meletakkan dasar-dasar bagi sebuah sistem dan
ilmu ekonomi adil dan stabil. Hebatnya lagi, beliau tidak hanya
menyampaikan gagasan-gagasan reformasi ekonomi, tetapi memimpin langsung
proses reformasi tersebut.
Secara garis besar langkah yang telah dikerjakan oleh Rasûlullâh e antara lain :
- Mengembalikan aspek transendensi ekonomi dan bisnis
- Mengembangkan nilai-nilai baru bagi ekonomi dan bisnis
- Memberikan konsep mekanisme pengelolaan ekonomi sekaligus mempraktekannya
Sistem ekonomi ini mampu menerangi peradaban Islam hingga berabad-abad. Dalam era modern, sistem ekonomi ‘prophetic’
ini secara ilmiah telah banyak diakui. Implementasi secara parsial juga
telah dilakukan, meskipun deviasi dari konsep ideal masih banyak
terjadi. Paper ini dibuka dengan penggambaran kondisi perekonomian
masyarakat Arab pra islam, kemudian dilanjutkan dengan penggambaran
reformasi ekonomi yang dilakukan Rasûlullâh e, dan akhirnya ditutup
dengan tantangan ke depan.
Perekonomian masyarakat Arab Pra Islam
Masyarakat Mekkah abad 6 M sebelum
kedatangan Islam adalah kombinasi unik antara oligarki politik
berdasarkan kesukuan dan kapitalisme perdagangan (merchant capitalism).
Keadaan geografis jazirah Arab yang sebagian besar terdiri dari gurun
pasir tandus, letak geografis yang strategis sebagai jalur perdagangan
antara Asia, Eropa, dan Afrika, serta adanya Baitullah di kota Mekkah
menyuburkan oligarkhi seperti ini. Sejak waktu jauh sebelum Islam
datang, perkawinan oligarkhi kesukuan dengan kapitalisme perdagangan ini
terjadi. Pada masa menjelang Islam dating, klan Bani Umayah mendominasi
kapitalisme perdagangan Mekkah. Muhammad e pra kenabian adalah juga seorang pedagang besar yang sukses, demikian pulan banyak sahabat nabi.
Para kapitalis perdagangan mendominasi
dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Kepentingan
perdagangan ini bahkan ditengarai menjadi motivasi berbagai layanan
sosial terhadap para tamu peziarah Baitullah atau pendatang,kota Mekkah,
misalnya sedekah (dalam berbagai bentuk, konsumsi atau akomodasi), rifadah (dukungan), siqâyah (penyediaan air untuk peziarah), dan îlâf
(perlindungan). Bahkan dinamika sosial dan politik masyarakat muslim
pada masa-masa selanjutnyapun langsung ataupun tidak langsung
dipengaruhi oleh kepentingan dagang ini.[2]
Secara umum masyarakat tidak berada
dalam keadaan makmur dan sejahtera. Kemiskinan, ketimpangan distribusi
pendapatan dan kekayaan,,bahkan perbudakan adalah gambaran nyata pada
masa itu. Sumber daya ekonomi, misalnya kapital, berada pada kendali
segelintir kapitalis dan hanya beredar di kalangan terbatas mereka.
Kebodohan, keterbelakangan, dan dekadensi moral juga menjadi gambaran
kembar dari keadaan saat itu sehingga sering disebut sebagai era
jahiliyah. Dalam analisis sosial-ekonomi modern kemiskinan dan
kebodohan memang merupakan sebuah lingkaran setan yang tak berujung
pangkal (vicious cycle). Tidak dikenalnya peradaban masyarakat
Mekkah pra Islam dalam sejarah peradaban dunia adalah bukti rendahnya
peradaban mereka pada waktu itu.[3]
Islam yang dibawa oleh Muhammad
e tidak hanya membawa revolusi keagamaan dan spiritualitas, namun juga
tatanan sosial-ekonomi-politik masyarakat. Kepercayaan
paganisme-polytheisme yang telah lama berakar dalam budaya masyarakat
jahiliyah dihapuskan menuju monoteisme murni (tauhid).
Kedatangan agama Islam juga memberikan pandangan baru tentang kegiatan
sosial-ekonomi-politik serta tata-kelola baru tentangnya. Meskipun
awalnya terdapat tantangan hebat dari internal dan eksternal masyarakat
Arab waktu itu namun akhirnya revolusi ini berhasil gemilang. Hanya
dalam waktu kurang dari 23 tahun, masyarakat muslim Arab kemudian telah
berubah menjadi suatu masyarakat yang memiliki peradaban tinggi sehingga
seringkali di-idealisasikan sebagai suatu model masyarakat yang paling
beradab (civilized society)[4]. Khusus dalam perekonomian, bapak Ilmu Ekonomi modern ‘Adam Smith’ dalam magnum opusnya – The Wealth of Nation – menempatkan perekonomian Muhammad dan Khulafaurrasyidin sebagai contoh perekonomian yang maju.[5]
Reformasi Perekonomian Masa Rasûlullâh e
Hal pertama yang paling fundamental
dilakukan Rasûlullâh e dalam menata perekonomian adalah mengembalikan
aspek transendensi kegiatan ekonomi dan bisnis. Kegiatan ekonomi dan
bisnis dalam masyarakat tradisional bersifat transenden. Mereka
seringkali mengaitkan langsung keuntungan dan rizqi dengan kehendak
Tuhan atau sang Penguasa alam. Namun, masyarakat jahiliyah Arab pada
masa itu menempatkan kegiatan ekonomi dan bisnis semata sebagai kegiatan
duniawi dalam rangka untuk menciptakan kemakmuran material. Sistem
kepercayaan (paganisme) tidak mampu menciptakan spiritualitas dalam
kehidupan nyata, mereka berpikir sekuler.
Islam datang mengembalikan spiritualitas
ekonomi dan bisnis dan memaknainya dalam dua pengertian, yaitu (a)
kegiatan ekonomi dan bisnis adalah ibadah, dan (b) ibadah adalah adalah
kegiatan ekonomi dan bisnis. Kegiatan ekonomi dan bisnis bukan semata
urusan duniawi, namun adalah ibadah yang membawa konsekuensi kepada
kehidupan akhirat. Terdapat implikasi dosa dan pahala di akhirat bagi
aktifitas ekonomi dan bisnis. Ia adalah bagian dari upaya menciptakan
kemuliaan (falah) dan kemaslahatan hidup yang merupakan tujuan dari syariah (maqasyid al-syariah) itu sendiri.[6]
Ibadah adalah kegiatan ekonomi dan
bisnis. Jika ekonomi dan bisnis adalah kegiatan mengelola sumber daya
ekonomi untuk mencari keuntungan guna mencapai kemakmuran, maka ibadah
juga demikian. Ibadah akan membawa implikasi keuntungan dan kemakmuran
di dunia dan akhirat. Ibadah adalah bisnis besar yang menciptakan
keuntungan dan kemakmuran tidak terhingga. Sebaliknya, meninggalkan
ibadah adalah kerugian yang akan menciptakan kesengsaraan tidak
terhingga pula. Berbagai idiom ekonomi dan bisnis digunakan al-Qur’ân
untuk menganalogikan ibadah, antara lain perdagangan yang tak pernah
rugi (tijaratan lantabûr), pinjaman yang baik (qardh al-hasanah), membeli (asytarâ), pergangangan yang melenyelamatkan dari azab (tijaratan tunjiikum min ‘adzab), dan lain-lain.[7]
Manusia telah diberikan berbagai sumber daya untuk dikelola sedemikian
rupa bagi ibadah untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Setelah mengembalikan spiritualitas
ekonomi, Rasûlullâh e kemudian meletakkan nilai-nilai Islam sebagai
fundamental (aksioma) dan etika dari bangunan ekonomi. Menurut Naqvy
(1981, 1994), misalnya, aksioma ini adalah kesatuan (tauhid), kebebasan (ikhtiar), tanggungjawab (fard), dan keseimbangan (‘adl wa al-ihsan). Di atas aksioma inilah etika Islam kemudian ditegakkan, seperti penghapusan riba, gharar, maysir, dharar, haram,
dan lain sebagainya, di satu sisi dan penegakan kerjasama, tolong
menolong, kejujuran, efisiensi, dan produktif, di sisi lain. Di kelak
kemudian hari, etika Islam ini terbukti memang fundamental dalam
menciptakan sistem ekonomi yang adil dan stabil. Tak terhitung ilmuwan
modern yang menguji validitas dan rasionalitas etika Islam bagi sistem
ekonomi, baik dari kalangan Muslim maupun non muslim. Riba dan gharar, misalnya, ternyata terbukti sebagai salah satu penyebab utama instabilitas perekonomian.[8]
Rasûlullâh e adalah teladan yang sempurna (uswatun hasanah).
Beliau tidak hanya memberikan gagasan, tetapi memberikan contoh
langsung penerapan dari gagasan-gagasan tersebut. Perekonomian
masyarakat di bawah Rasûlullâh e memang relative kecil dari sisi ukuran
dan skala. Negara Islam pada masa itu hanya meliputi sebagian kecil
jazirah Arab yang berpusat di Madinah. Madinah sendiri pada masa
Rasûlullâh e diperkirakan hayalah sebuah kota seluas area mesjid Nabawi
pada saat ini. Namun apa yang beliau lakukan telah memberikan
dasar-dasar fundamental bagi sistem perekonomian dengan ukuran dan skala
yang lebih luas. Oleh karenanya, pengelolaan perekonomian masyarakat
muslim di bawah Rasulullah adalah model dasar bagi pengembangan ekonomi
Islam pada masa kapanpun, termasuk masa kini.
Secara garis besar pengelolaan ekonomi
yang dicontohkan Rasûlullâh e adalah sistem ekonomi 3 sektor, yaitu
harmonisasi antara peran pasar, pemerintah, dan masyarakat. Islam
menempatkan ketiganya pada fungsi dan peran yang proporsional, sesuai
dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mekanisme ini berbeda
dengan kapitalisme yang lebih bertumpu pada peranan pasar (pasar
liberal) dengan meminimalisir peran pemerintah dan masyarakat, serta
berbeda dengan sosialisme yang lebih bertumpu pada peran pemerintah
dengan meminimalisir peran pasar. Harmonisasi ini adalah untuk
memastikan bahwa sumber daya ekonomi dapat dikelola secara optimal untuk
menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masayarakat. Modernisasi rancang
bangun ekonomi Rasûlullâh e disajikan dalam bagan di bawah.
Gambar 1
Sumber: P3EI dan Bank Indonesia, 2009
Pasar memegang peranan penting dalam
perekonomian, karena pasar merupakan tempat perniagaan dilakukan secara
sukarela antara pembeli dan penjual. Hal ini sejalan dengan persyaratan
perniagaan yang diperintahkan oleh Allâh, yaitu antarâdhim minkum (mutual goodwill) sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’ân,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.[9] Sesungguhnya Allâh adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS al-Nisâ’[4]: 29)
Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual goodwill bagi
para pelakunya, maka nilai-nilai moralitas mutlak harus ditegakkan.
Secara khusus nilai moralitas yang mendapat perhatian penting adalah
persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (tranparancy) dan keadilan (justice). Nilai-nilai moralitas ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam.[10]
Untuk memastikan nilai-nilai di atas,
Rasûlullâh e mengawasi langsung berjalannya pasar. Beliau melarang
berbagai model bisnis yang bertentangan dengan islam seperti hashah, najasy, ghaban faa hisy, tallaqi rukhban, mukhadarah, dan ikhtikar.[11]
Bahkan beliau menginspeksi langsung ketepatan timbangan maupun
kejujuran penjual sehingga menegur dengan keras pedagang yang menipu.
Peran Rasûlullâh e sebagai market controller atau al-muhtasib ini di kemudian hari dilembagakan oleh para penerusnya menjadi al-hisbah..Menurut ibnu Taimiyah, al-hisbah bahkan berfungsi untuk mengontrol ibadah para pelaku pasar, karena ibadah adalah pembentuk akhlaq dan perilaku.[12]
Pasar adalah sebuah mekanisme kolektif
dan alamiah yang melibatkan banyak pelaku dan banyak faktor, karenanya
beliau sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar ini. Harga pasar
adalah resultan dari mekanisme tidak dapat diintervensi oleh individu,
melainkan atas kehendak Allâh. Intervensi pasar dilakukan jika dan hanya
jika terdapat gangguan berlangsungnya mekanisme pasar yang Islami.
Beliau menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga manakala tingkat
harga di Madinah pada saat itu tiba-tiba naik. Sepanjang kenaikan
terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni, yang tidak
dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolistik dan monopsonistik, maka
tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar. Pada saat itu para
sahabat berkata , “ Wahai Rasûlullâh tentukanlah harga untuk kita !”. Beliau menjawab, “ Allâh itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah, serta pemberi rizqi. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam hal darah dan harta”[13].
Peranan pemerintah dalam Islam bukan
sekedar untuk menutup kelemahan mekanisme pasar melainkan atas sebuah
alasan yang fundamental dan permanen. Dalam ekonomi konvensional
pemerintah harus berperan sekedar untuk menutup kegagalan pasar (market failure),
yaitu ketidakmampuan pasar dalam menyelesaikan beberapa persoalan
seperti adanya barang publik, eksternalitas, dan penegakan keadilan.
Pemerintah adalah pemegang amanah Allâh (khalifatullâh) untuk mengorganisir masyarakat dan sumber daya (ekonomi) mencapai kesejahteraan hakiki (falah). Pemerintah bertindak sebagai perencana, pengawas, produsen sekaligus konsumen bagi aktifitas pasar.[14]
Pembentukan bait al-mâl
pada masa itu adalah sebuah langkah pioner dan revolusioner, di mana
kekayaan negara dikelola oleh pemerintah terpisah dengan kekayaan
individu penguasa. Pada masa itu, bahkan hingga berabad-abad setelahnya,
di Eropa dan berbagai masyarakat di belahan bumi lainnya masih
mencampuradukkan antara kekayaan individu penguasa dengan negara.
Bahkan, seringkali terjadi kekayaan negera adalah kekayaan raja. Bait al-mâl ini menjadi cikal bakal eksistensi berbagai insititusi pemerintah dalam mengelola perekonomian. Bait al-mâl
pada masa Rasûlullâh e masih bersifat umum, yaitu mengelola harta
negara untuk segala keperluan. Namun pada masa Umar bin Khaththab
berbagai bait al-mâl dengan fungsi khusus telah didirikan, misalnya al-Divan yang berfungsi sebagai pengelola tunjangan sosial masyarakat.[15]
Masyarakat selalu berperan besar dalam
perekonomian, meskipun keberadaannya terkadang diremehkan. Yang
dimaksud masyarakat bukanlah masyarakat pelaku pasar (yang bermotif
mencari keuntungan) dan bukan masyarakat yang menjadi pemerintah (yang
bermotif hukum dan politik). Dalam literature ekonomi modern sekcor ini sering disebut sektor social atau sukarela (voluntary sector),
karena motifnya adalah sosial-relijius. Islam memberikan kedudukan
penting bagi sektor ini melalui wakaf dan zakat-infaq-sedekah (WAZIS).
Sejarah Islam telaah memberikan bukti
yang tiada terhitung tentang peranan WAZIS ini dalam menopang
perekonomian. WAZIS dapat melengkapi kebutuhan perekonomian yang tidak
dapat disediakan secara efektif dan efisien oleh pasar dan pemerintah,
baik dalam penyediaan barang public (pasar,jalan, fasilitas umum
lainnya) maupun barang-barang ekonomi (barang kebutuhan konsumsi dan
produksi pada umumnya). Sejak masa Rasûlullâh e hingga era modern saat
ini WAZIS tetap menjadi andalan bagi perekonomian. Peran dan kedudukan
zakat tentu tidak perlu dipertanyakan lagi, sebab ia adalah salah satu
rukun Islam.
Wakaf barang kali merupakan salah satu
contoh peran masyarakat yang sangat unik dalam Islam. Wakaf dalam
rentang waktu yang cukup lama telah berada pada pusat paling penting
dari kehidupan umat Islam sehari-hari, membangun lembaga-lembaga
keagamaan, cultural dan kesejahteraan.[16]
Beberapa gambaran pemanfaat wakaf menunjukkan nilai penting ini, antara
lain hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah
Turki Usmani merupakan tanah wakaf, setengah dari lahan di Aljazair,
pada masa penjajahan Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan
tanah wakaf, pada periode yang sama, 33 %. Tanah di Tunisia merupakan
tanah wakaf, di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan
pertanian adalah tanah wakaf, pada tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen
dari lahan yang ditanami adalah lahan wakaf.
MARÂJI’
Askari, Hossein, et.al. 2010, The Stability of Islamic Finance, Singapore: John Wiley and Son.
Askari, Hossein, Iqbal, and Mirakhor. 2010. Globalization and Islamic Finance. Singapore: John Wiley and Son.
Haikal, Muhammad Husain. 2008. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. Ke-37, Jakarta: Lentera Antar Nusa.
Ibrahim, Mahmood. 1991. “Merchant capital and Islam”, The American Journal of Islamic Social Science. Austin:The Texas University Press Vol 8 No 3.
Islahi, Abdul Azim. 1988. Economic Concepts of Ibn Taimiyyah. Leicester U.K: The Islamic Foundation
Hart, Michael H. 1978. The 100: A Ranking of The Most Influential Persons In History. New York. p. 33
Kahf, Monzer. 1978. The Islamic Economy : Analitical Study of the Functioning of Islamic System. Indiana: MSA of US and Canada.
________. 1982 “Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy”. dalam Arif, Mohammad (Ed.). 1992. Monetary and Fiscal Economics of Islam. Jeddah KSA: King Abdul Azzis University.
Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Ekonomi islam Suatu Kajian Kontemporer,.Jakarta: Gema Insani Press.
Khan, Mohsin and Mirakhor, A. 1987. “Islamic Interest Free Banking: a Theoritical Analysis”, Theoritical Studies in Islamic Banking and Finance. Houston: IRIS Books.
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam (terj.). Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. Jilid 1-4.
Rodinson, Maxime. 1982. Islam and Capitalism (terj.). Bandung: Al-Iqro’
Sabzwari. 1991. “Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad”, dalam Karim, Adiwarman (Ed.). 2000. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: IIIT of Indonesia
P3EI dan Bank Indonesia. 2009. Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press.
* Dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Direktur P3EI Fakultas Ekonomi UII, mohanto96@gmail.com
[1] Michael H Hart. The 100: A Ranking of The Most Influential Persons In History. (New York: tp, 1978)
[2] Mahmood Ibrahîm. “Merchant capital and Islam”, The American Journal of Islamic Social Science. (Austin:The Texas UniveRasulullah sawity Press, 1991). Vol 8 no 3 1991. Lihat juga di Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (terj.) (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Jilid 1-4, dan Maxime Rodinson. Islam and Capitalism (terj.), (Bandung: Al-Iqro’, 1982)
[3] Muhammad Husain Haikal.2008. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. Ke-37. (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2008)
[4]
Struktur masyarakat ini dikenal dengan masyarakat madani, yang berasal
dari nama kota Madinah (kota nabi). Istilah lain adalah masyarakat tammaddun,
di mana dalam masyarakat ini terjadi keseimbangan dalam berbagai hal,
material, spiritual, individu, sosial, kebebasan individu, kewajiban
individu, hak-hak manusia dihormati, dan lain-lain.
[5] Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
[6]
Lihat dalam al-Qur’an, Surat Al-An’âm [6]: 65, Surat Jumu’ah [62]:
9-11, Surat al-Qurasy [106]: 1-4, Surat al-Nûr [24]:37, dan Surat
al-Taubah [9]: 24.
[7]
Lihat dalam al-Qur’ân Surat al-Taubah [9]: 111, Surat Ali Imrân [3]:
199, Surat al-Baqarah [2]: 86, Surat Fâthir [35]: 29, Surat al-Shaff
[61]:10, dan Surat al-Syua’ra [26]: 207.
[8] Hossein Askari. et.al. The Stability of Islamic Finance. (Singapore: John Wiley and Son, 2010). Mohsin and Mirakhor A. Khan. “Islamic Interest Free Banking: a Theoritical Analysis”, Theoritical Studies in Islamic Banking and Finance. (Houston: IRIS Books, 1987)
[9]
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena
umat merupakan suatu kesatuan.
[10]
Lihat misalnya dalam al-Qur’ân Surat al-An’âm [6]: 152, Surat
al-Isrâ’[17]: 35, Surat al-Muthafifin [83]: 1-6, Surat al-Syu’arâ
[26]:181-183, Surat Hud [11]: 85, Surat al-A’râf [7]: 85.
[11] Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (terj.) (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Jilid 1-4.
[12] Abdul Azim Islahi. Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester U.K: The Islamic Foundation, 1988)
[13] Hadits ini diriwayatkan oleh enam imam hadits yang utama, kecuali al-Nasâ’i, sehingga merupakan hadits hasan sahih. Terdapat juga hadist lain yang diriwayatkan Abû Dawud dari laporan Abû Hurairah bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi e: “ Wahai Nabi Allah, tetapkanlah harga untuk kita !”, Nabi menjawab, “Engkau harus berdoa kepada Allâh untuk itu!” Orang lain juga datang kepada Nabi dan meminta hal yang sama, sehingga Nabi menjawab, “Hanya Allâh yang menurunkan dan menaikkan harga!”.
[14] Monzer Kahf. 1982, “Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy”, dalam Arif, Mohammad (Ed.) Monetary and Fiscal Economics of Islam, (Jeddah KSA: King Abdul Azzis University, 1992)
[15] Sabzwari, Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad, dalam Adiwarman Karim (Ed.). 2000. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: IIIT of Indonesia, 1982) dan Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (terj.) (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Jilid 1-4.
[16] Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/09/17/nabi-muhammad-saw-sang-ekonom-sejati/
http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/09/17/nabi-muhammad-saw-sang-ekonom-sejati/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar